Untaian Nasihat Luqmân Untuk Buah Hatinya
UNTAIAN NASIHAT LUQMAN UNTUK BUAH HATINYA
Oleh
Ustadz Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. [Luqmân/31:3].
SIAPAKAH LUQMÂN?
Terdapat perselisihan ulama dalam masalah penamaan ayah dan nasabnya, kenabian dan profesi serta sifat-sifat fisiknya.[1]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan, ia adalah Luqmân bin ‘Anqâ bin Sadûn.[2] Sebagian besar ulama Salaf menyatakan, Luqmân rahimahullah bukanlah nabi dan tidak pula mendapatkan wahyu, melainkan ia seorang wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang taat, shâlih, dan bijaksana, yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berbagai keutamaan, berupa kecerdasan akal, kedalaman pemahaman terhadap Islam, sifat pendiam dan tenang, serta hikmah dalam berkata-kata.[3]
Adapun mengenai profesi Luqman rahimahullah, di antara para ulama terjadi perpedaan pendapat. Ada yang mengatakan, ia seorang budak hitam yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ada pula yang mengatakan sebagai penjahit. Ada pula yang mengatakan sebagai penggembala. Dan ada pula yang mengatakan sebagai Qadhi (hakim) di masyarakat Bani Israil.[4] Sedangkan mengenai sifat-sifat fisik beliau, banyak para ulama yang menjelaskan, ia adalah seorang budak Habasyah yang hitam, berbibir tebal, dan berkaki pecah-pecah.[5]
SYIRIK MERUPAKAN KEZHALIMAN YANG AMAT BESAR
Pada ayat di atas, Luqmân rahimahullah menasihati anaknya, Tsarân[6] agar tidak berbuat syirik. Sebagai seorang ayah yang telah dikaruniai Allah Subhanahu wa Ta’ala sifat bijaksana dan kemampuan berkata-kata dengan kedalaman makna dan penuh hikmah,[7] Luqmân memberi sebuah nasihat sangat berharga untuk buah hatinya yang sangat ia sayangi.
Dia menasihati anaknya agar tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu apapun, karena syirik merupakan kezhaliman yang amat besar. Karena dalam perbuatan syirik ini tidak ada suatu pun perbuatan dosa yang paling besar dan buruk daripada dosa menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya, dosa menyamakan derajat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Sempurna dan Yang Maha berhak untuk disembah karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya; dengan makhluk-Nya yang sarat kekurangan dan kelemahan.[8]
Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, jika ia sampai mati dalam keadaan belum bertaubat dari perbuatan syiriknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Qs. an-Nisâ`/4:48).
Syirik merupakan kezhaliman yang sangat besar; dan keimanan seorang muslim tidak mungkin lurus dan benar jika masih tercampur dengan kezhaliman ini, karena tidak mungkin sebuah keimanan dan tauhid bercampur dengan kesyirikan dan kekufuran.
Ayat di atas juga memberikan isyarat yang jelas kepada para ayah atau orang tua, para guru, pengajar dan pembimbing secara umum, agar mereka menasihati anak-anaknya sejak dini. Yaitu dengan menanamkan dan memahamkan serta mengajarkan prinsip-prinsip dasar ke-Islaman dan keimanan, berupa aqidah atau tauhid. Hal ini pun telah dicontohkan oleh seorang ayah, pembimbing, dan guru yang terbaik, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tatkala beliau menasihati sepupunya, ‘Abdullah bin ‘Abbâs c yang saat itu umurnya masih sangat belia.[9]
‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, yang artinya: Pada suatu hari, aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan beliau bersabda: “Wahai anak, sesungguhnya aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati-Nya di depanmu. Jika kamu ingin meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika kamu ingin memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh umat bergabung untuk memberikan sebuah manfaat kepadamu, mereka semua tidak akan bisa memberikan manfaat itu kecuali jika Allah telah menetapkannya untukmu. Dan jika mereka semua bergabung untuk memberikan sebuah madharrat/bahaya kepadamu, mereka semua tidak akan bisa memberikan madharrat/bahaya itu kecuali jika Allah telah menetapkannya (pula) untukmu. Pena telah diangkat, dan buku catatan (amal) telah kering’.”[10]
WAJIB BERBAKTI DAN TAAT KEPADA ORANG TUA SELAMA PERINTAHNYA TIDAK MENYALAHI SYARIAT
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [Luqmân/31:14-15].
Pada ayat ke-14 dan ke-15 surat Luqmân ini, setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memenuhi hak-Nya dengan beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk memenuhi hak orang tua, dengan berbakti dan taat kepadanya selama perintah mereka tidak menyelisihi syariat. Kita diperintah untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua, karena merekalah yang menyebabkan kita ada di dunia ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala ; dan terlebih lagi berbakti kepada ibu, karena, ibu telah mengandung kita, merasakan payahnya ketika kita masih berada di dalam perutnya. Hingga akhirnya melahirkan kita dengan menahan rasa sakit yang luar biasa. Ibu mempertaruhkan nyawa demi keselamatan kita. Tidak hanya sampai di situ, ibu juga menyusui kita, mengurus dengan sabar, hingga menyapih kita dalam jangka waktu dua tahun. Sampai akhirnya kita tumbuh berkembang, kuat dan dewasa.[11] Demikian pula dengan ayah, ia telah membanting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kita dan ibu.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika taat dan berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap anak. Tentunya, kewajiban tersebut berlaku selama bakti dan ketaatan terhadap perintah mereka berdua tidak menyelisihi atau menyalahi syariat. Hal ini banyak diterangkan dalam Al-Qur`ân maupun hadits-hadits shahîh, di antaranya seperti firman-Nya berikut:
Juga firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [al-‘Ankabût/29:8].
Konkretnya, seperti yang telah diperankan oleh Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu, ketika sang ibu memaksanya murtad dari Islam. Para ulama berpendapat, ayat ke-8 surat al-‘Ankabût, dan ayat ke-14 dan ke-15 surat Luqmân ini di atas turun dengan sebab kisah Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu.[12]
Dalam Shahîh Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqâsha, beliau berkata yang artinya :
Ibu Sa’ad (bin Abi Waqqâsh)[13] bersumpah untuk tidak berbicara dengannya selama-lamanya sampai Sa’ad kufur (keluar) dari agamanya (yaitu, Islam). Dia pun bersumpah untuk tidak mau makan dan minum. Dia berkata: “Kamu telah katakan bahwa Allah memerintahkanmu untuk taat/berbakti kepada kedua orang tuamu, sedangkan aku adalah ibumu, dan aku memerintahkanmu untuk kufur (dari Islam)”. Ibu Sa’ad pun bertahan (tidak makan dan minum) selama tiga hari, hingga ia pingsan karena kepayahan. Maka salah satu anaknya yang bernama ‘Umarah memberinya minum. Ibu Sa’ad pun mendoakan keburukan untuk Sa’ad, maka Allah Ajja wa Jallamenurunkan dalam Al-Qur`ân ayat ini: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…”[14].
Oleh karena itu, bagaimanapun keadaan orang tua, kita diwajibkan oleh Allah untuk taat dan berbakti kepada mereka,[15] selama bukan merupakan perkara maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga, jika orang tua memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban untuk mentaati perintah mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
«…إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ».
… Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang baik.[16]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
«…لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ».
… Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta’ala ).[17]
LUQMÂN RAHIMAHULLAH MENANAMKAN AQIDAH KEPADA PUTRANYA TENTANG KEKUASAAN ALLAH YANG MUTLAK DAN ADANYA HARI PEMBALASAN
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
(Luqmân berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [Luqmân/31:16].
Pada ayat ke-16, Luqmân kembali menasihati putranya, bahwa sekecil apapun perbuatan seseorang, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya. Perbuatan baik, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pun baik. Jika perbuatan tersebut buruk, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pun demikian.[18]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun, dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya, dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. [al-Anbiyâ`/21:47].
Maka, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pandangan Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, di akhir ayat 16 surat Luqmân ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
LUQMÂN RAHIMAHULLAH MEMERINTAHKAN PUTRANYA UNTUK MENEGAKKAN SHALAT, MENEGAKKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR DAN BERSABAR TERHADAP MUSIBAH
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). [Luqmân/31:17].
Luqmân memerintahkan si anak untuk sholat, karena merupakan ibadah fisik paling penting. Selanjutnya, memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar. Aktifitas ini menuntut pengenalan akan perkara-perkara yang ma’ruf dan kemungkaran, serta sifat pendukungnya, yaitu kelembutan dan kesabaran. Lantaran pasti akan menghadapi cobaan saat menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, Luqmân memerintahkan supaya bersabar. Perkara-perkara ini termasuk ‘azmil-umûr (perkara besar lagi menyedot perhatian lebih), hingga tidak ada yang memperoleh taufik untuk menjalankannya kecuali orang-orang yang bertekad baja[19]
Secara khusus, mengenai pembinaan anak-anak untuk mengerjakan sholat sejak dini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ .
Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau melakukan shalat) ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkan mereka dalam tempat tidur.[20]
LUQMAN RAHIMAHULLAH MENGAJARKAN KEPADA PUTRANYA AGAR TIDAK SOMBONG, ANGKUH DAN TIDAK MEMBANGGAKAN DIRI
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. [Luqmân/31:18]
Dalam ayat lain, Allah Ajja wa Jalla telah berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. [al-Isrâ`/17:37].
Dan sungguh, nasihat Luqmân ini pun telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita, seperti ditunjukkan beberapa hadits berikut.
Hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd a, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ»، قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يَحِبُّ الْجَمَالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak (akan) masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sekecil dzarrah dari kesombongan”. (Kemudian) ada seorang yang berkata: “Sesungguhnya seseorang senang jika bajunya bagus dan sendalnya bagus,” (maka) Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah, dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”.[21]
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ، فَخَسَفَ اللهُ بِهِ الأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ .
Tatkala seorang berjalan dengan angkuh/sombong dengan mengenakan dua lapis pakaiannya, maka Allah benamkan dia ke dalam bumi. Dia pun terus demikian naik turun di dalam bumi sampai hari kiamat.[22]
1. Hadits Haaritsah bin Wahb al-Khuzaa’i Radhiyallahu anhu , ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ؟»، قَالُوْا: بَلَى، قَالَ: «كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ .
“… Maukah aku beritahu kalian; siapakah penghuni neraka?” Mereka menjawab: “Tentu”. Rasulullah bersabda: “Setiap orang yang kasar, tamak/serakah dan sombong”.[23]
LUQMÂN RAHIMAHULLAH MENGAJARKAN KEPADA PUTRANYA AGAR TAWAADHU’, BERLAKU TENANG DAN TIDAK MENINGGIKAN SUARA
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [Luqmân/31:19].
Pada ayat ke-19, Luqmân juga menasihati putranya untuk tawâdhu’ (rendah hati), tenang, tidak tergesa-gesa dan tidak terlalu lambat dalam berjalan. Dia juga menasihati anaknya untuk tidak berlebih-lebihan dalam berbicara, dan tidak meninggikan suara untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya pada pembicaraan tersebut. Sampai-sampai Luqman mengumpamakannya dengan suara keledai yang buruk.
Al-Hafizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Seburuk-buruk perumpamaan orang yang meninggikan suaranya adalah bagaikan keledai dalam ringkikannya. Selain itu, suara ini pun dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala “.[24]
PESAN DAN NASIHAT IMAM IBNUL QAYYIM RAHIMAHULLAH UNTUK PARA AYAH, ORANG TUA DAN PARA PENDIDIK SECARA UMUM
Sebelum merenungkan nasihat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, marilah kita renungi dan pahami terlebih dahulu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ… .
Tidak ada seorang (bayi pun) yang dilahirkan, melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fithrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan Majusi…..[25]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata:[26]
Sebagian Ahlul ‘Ilmi (para ulama) berkata: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya kepada ayah -pada hari Kiamat nanti- (tentang) apa yang telah dilakukannya terhadap anaknya, sebelum Allah bertanya kepada anak, (tentang) apa yang telah dilakukannya terhadap ayahnya.
Karena, sebagaimana ayah memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh anaknya, maka anak pun memiliki hak yang harus di penuhi oleh ayahnya. Dan sebagaimana Allah berfirman.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
Dan kami wajibkan manusia (berbuat) baik kepada dua orang ibu-bapaknya …. -al-‘Ankabut/29 ayat 8- maka Allah pun berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…. -at-Tahrim/66 ayat 6-, dan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata: “Yaitu, ajarilah dan didiklah anak-anak kalian!”.[27]
Sehingga, perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada ayah untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak anaknya, lebih Allah Subhanahu wa Ta’ala dahulukan daripada perintah-Nya kepada anak untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak ayahnya. (Sebagaimana) firman Allah:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan… -al-Isrâ`/17 ayat 31- sehingga barang siapa melalaikan pendidikan anaknya agar mengetahui hal-hal yang bermanfaat untuknya, dan menyia-nyiakannya; maka sungguh ia telah berbuat keburukan terhadap anaknya dengan seburuk-buruknya. Dan mayoritas anak, tidaklah mereka menjadi rusak melainkan karena ayahnya. Ayahnyalah yang lalai mendidik anaknya, dan lalai menanamkan serta memahamkan prinsip-prinsip dasar agama dan sunnah-sunnahnya. Akhirnya, (ayah seperti inilah yang) telah menyia-nyiakan anaknya (sendiri) sejak kecil, dan tidak memberinya manfaat. Sehingga ketika ia telah dewasa, ia pun tidak (bisa) memberikan manfaat apapun kepada ayahnya. Seperti yang pernah terjadi pada sebagian anak yang mencela ayahnya (karena kelalaiannya), ia berkata: “Wahai ayahku, sebagaimana engkau tidak mendidikku saat masa kecilku, maka kini saat aku telah dewasa mendurhakaimu! Wahai ayahku, sebagaimana engkau telah menyia-nyiakan diriku (dahulu) ketika aku bayi, maka kini aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau menjadi seorang kakek tua”.
BEBERAPA PELAJARAN DAN FAIDAH AYAT-AYAT[28]
1. Penetapan (wajibnya) tauhid dan ancaman (bahaya) syirik.
2. Penjelasan hikmah, yaitu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taat dan selalu ingat kepada-Nya. Karena tidaklah bersyukur melainkan orang yang berakal dan pandai.
3. Disyariatkan nasihat dan bimbingan, baik untuk orang tua, anak kecil, orang asing maupun kerabat.
4. Dahsyatnya (keburukan) syirik, dan penjelasan bahwa syirik merupakan kezhaliman yang sangat besar.
5. Penjelasan jangka waktu menyusui, yaitu selama dua tahun, tidak lebih.
6. Wajibnya berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
7. Penetapan kaidah “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta (Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. Yaitu dengan tidak mentaati (perintah) orang tua dalam hal-hal yang tidak baik (menurut syariat).
8. Wajib mengikuti jalan orang-orang yang beriman dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan haram mengikuti jalan para pelaku bid’ah dan kesesatan.
9. Wajib merasakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi dan mengetahui gerak-gerik (setiap manusia), dan tidak boleh menganggap remeh terhadap kebaikan atau keburukan yang dilakukan, betapa pun kecilnya.
10. Wajib menegakkan shalat, amar ma’ruf dan nahi munkar, dan sabar terhadap apa-apa yang akan menimpa si pelaku amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut.
11. Haram berlaku angkuh dan sombong dalam berjalan, serta wajibnya sederhana, tenang dalam berjalan dan berbicara. Yakni tidak terlalu cepat dalam berjalan, dan tidak terlalu mengeraskan suara dalam berbicara, kecuali jika dibutuhkan.
Demikianlah, mudah-mudahan kita dapat mengambil faidah dan manfaat dari penjelasan ayat-ayat Allah yang mulia ini. Sehingga dapat membuat ilmu, iman dan amal shâlih kita senantiasa bertambah dan meningkat. Amin.
Wallahu A’lamu bish-Shawâb.
Maraji’ & Mashadir:
1. Al-Isti’âb fi Bayân al-Asbâb, Salim bin ‘Id al-Hilâli dan Muhammad bin Musa Alu Nashr, Dâr Ibn al-Jauzi, KSA, Cetakan I, Tahun 1425 H.
2. Aisarut-Tafâsîr li Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakar Jabir al-Jazâiri, Maktabah al-Ulûm wal Hikam, al-Madinah al-Munawwarah, KSA, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M.
3. Tafsir al-Qurthubi (al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tahqîq ‘Abdur Razzâq al-Mahdi, Dâr al Kitab al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M.
4. Tafsir ath-Thabari (Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari (224-310 H), tahqîq Mahmûd Syâkir, Dâr Ihya at-Turâts, Beirut, Cetakan I, Tahun 1421 H/ 2001 M.
5. Tafsir Ibnu Katsir (Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm), Abu al-Fida’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr (700-774 H), Tahqîq Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dâr ath-Thaibah, Riyadh, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M.
6. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalâmil-Mannân, ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di, tahqîq ‘Abdurrahmân bin Mu’alla al-Luwaihiq, Dâr as-Salam, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
7. Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyûb az-Zar’i, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H), tahqîq Abu Usâmah Salim bin ‘Id al Hilâli, Dâr Ibn al-Qayyim & Dâr Ibn ‘Affân, Kairo, Mesir, Cetakan II, Tahun 1428 H/2007 M
8. Zâdul-Masîr, Abu al-Faraj Jamâluddin ‘Abdurrahmân bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi al-Baghdadi (508-597 H), al-Maktab al-Islâmi, Beirut, Cetakan. III, Tahun 1404 H/ 1984 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/Jumadil Tsani 1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/78-80), al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/56-57), Zâdul-Masîr (6/317-318), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/333-335).
[2]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/336). Terdapat pendapat lain soal nasab beliau, seperti termaktub dalam dikemukakan oleh al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/56). Di antaranya, Luqmân bin Ba’urâ bin Nahûr bin Târah. Dan Târah adalah Azar, ayah Nabi Ibrahim.
[3]. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/56), Zâdul-Masîr (6/318), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/334-335). Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/80.
[4]. Keterangan-keterangan tentang ini dapat dilihat di Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/79), Zâdul-Masîr (6/317-318).
[5]. Lihat Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/79), al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/56), Zâdul-Masîr (6/318), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/334).
[6]. Disebutkan oleh Imam al-Qurthubi v dan Al-Hafizh Ibnu Katsir v, bahwa namanya adalah Tsaraan. Lihat al-Jaami’ li Ahkâmil Qur’aan (14/58) dan Tafsiirul Qur’ânil ‘Azhîm (6/336).
[7]. Luqmân ayat 12.
[8]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/336) dan Taisîrul-Karîmir-Rahmân (2/424).
[9]. Umur beliau saat itu kurang dari 15 tahun. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah Syaikh Muhammd bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 201.
[10]. HR at-Tirmidzi (4/667 no. 2516), dan lain-lain. Hadits ini shahîh. Shahîh Sunan at-Tirmidzi (2/610).
[11]. Lihat Taisîrul-Karîmir-Rahmân(2/424-426).
[12]. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Qur`ân (21/82), al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/60), Zâdul-Masîr (6/319), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/337).
[13]. Namanya Hamnah binti Abi Sufyân bin Umayyah al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/61)
[14]. HR Muslim, Kitab Fadha`ilish-Shahâbah, Bab: Fî Fadhli Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu (4/1877 no. 1748), dan lain-lain.
[15]. Imam al-Qurthubi rahimahullah – dalam tafsirnya al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (14/61)- berkata: “Pada ayat di atas (ayat ke 15 dalam surat Luqmân) terdapat dalil atas wajibnya berbakti kepada kedua orang tua walaupun mereka kafir. Berbakti dengan membantu memberikan harta (kita) jika mereka fakir dan miskin, dan berkata-kata lemah lembut serta mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah Islam”.
[16]. HR al-Bukhâri (4/1577 no. 4085), (6/2612, 2649 no. 6726, 6830), Muslim (3/1469 no. 1840), dan lain-lain, dari hadits Ali bin Abi Thalib.
[17]. Lihat Silsilatul-Ahâdits ash-Shahîhah (1/348, 350 dan 351 no. 179, 180, 181).
[18]. Lihat Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/337-338) dan Taisîrul-Karîmir-Rahmân (2/426).
[19]. Ringkasan dari Taisîrul-Karîmir-Rahmân 648
[20]. HR Abu Dawud (1/187 no. 495), dan lain-lain.
Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani v dalam Irwâ`ul Ghalîl (1/266 no. 247), Shahîh al-Jami’ (5868), Shahîh Sunan Abi Dawud (1/144-145 no. 495) dan kitab-kitab beliau lainnya.
[21]. HR Muslim (1/93 no. 91), dan lain-lain.
[22]. HR al-Bukhâri (5/2182 no. 5452), Muslim (3/1653 no. 2088), dan lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim.
[23]. HR al-Bukhâri (4/1870 no. 4634, 5/2255 no. 5723), Muslim (4/2190 no. 2853), dan lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim.
[24]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (6/339).
[25]. HR al-Bukhâri (1/456 no. 1292-1293, 4/1792 no. 4497, 6/2434 no. 6226), Muslim (4/2047 no. 2658), dan lain-lain, dari hadits Abu Hurairah a. Dan ini lafazh dalam Shahîh Muslim.
[26]. Lihat Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd, halaman 386-387, dengan sedikit peringkasan.
[27]. Atsar ini dishahîhkan oleh Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilâli dalam tahqîq beliau terhadap kitab Tuhfatul-Maudûd bi Ahkâmil-Maulûd, halaman 375.
[28]. Disadur dari Aisarut-Tafâsîr li Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr (2/993-994).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3349-untaian-nasihat-luqman-untuk-buah-hatinya.html